Disahkan oleh Human Rights Council pada tahun 2011, United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) langsung berdampak luas. Tidak hanya pada negara dan perusahaan, UNGPs juga berdampak pada profesi-profesi tertentu, salah satunya profesi advokat.

Dalam kaitannya dengan penerapan UNGPs, profesi advokat berada di posisi yang unik. Di satu sisi, advokat adalah pelaku bisnis itu sendiri yang juga memikul tanggung jawab untuk menghormati HAM sebagaimana bunyi pilar kedua dari UNGPs. Dalam hal ini, kantor advokat dapat dianalogikan sebagai perusahaan.

Pilar II UNGPs, “The role of business enterprises as specialized organs of society performing specialized functions, required to comply with all applicable laws and to respect human rights”.

Di sisi lain, advokat dengan fungsinya sebagai penasihat hukum juga dapat terlibat aktif dalam proses pemulihan atau penyelesaian sengketa yang timbul dari suatu peristiwa HAM yang terkait dengan aktivitas perusahaan sebagaimana bunyi pilar ketiga. Dalam konteks ini, posisi advokat bisa sebagai perwakilan perusahaan ataupun perwakilan korban.

Pilar III UNGPs, “The need for rights and obligations to be matched to appropriate and effective remedies when breached”.

Memahami pentingnya UNGPs serta implikasinya terhadap profesi advokat, sebuah organisasi advokat skala global, yakni International Bar Association (IBA) menerbitkan IBA Practical Guide on Business and Human Rights for Business Lawyers yang disahkan berdasarkan Resolusi Dewan IBA pada tanggal 28 Mei 2016.

Tujuan utama penyusunan IBA Practical Guide adalah untuk memberi bekal kepada advokat ketika mereka menangani kasus-kasus HAM yang berkaitan dengan bisnis. Dalam rangka itu, substansi IBA Practical Guide antara lain mencakup: (i) penjelasan tentang latar belakang dan materi inti dari UNGPs;

(ii) pembahasan tentang relevansi UNGPs dengan dunia praktik advokat, khususnya yang berkaitan dengan pemberian nasihat kepada klien perusahaan; (iii) penjelasan tentang dampak UNGPs terhadap penerapan hak klien untuk mendapat pendampingan kuasa hukum; (iv) memaparkan peluang dan tantangan yang diberikan UNGPs kepada profesi advokat.

Untuk poin yang disebut terakhir, IBA Practical Guide menyatakan bahwa menguasai dan memahami prinsip-prinsip yang terkandung dalam UNGPs akan membuka peluang bagi advokat, baik itu advokat internal perusahaan (in house counsel) maupun advokat eksternal.

Seorang in house counsel, misalnya, dianggap memiliki posisi yang cukup strategis karena dia memiliki akses langsung ke level pimpinan perusahaan. Ketika merumuskan kebijakan perusahaan yang berkaitan dengan HAM, termasuk uji tuntas HAM, maka para pimpinan tentunya akan bertanya kepada in house counsel karena dianggap memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam memahami instrumen hukum, termasuk UNGPs.

Sementara itu, UNGPs juga memberi peluang bagi advokat eksternal yakni untuk menjawab kebutuhan perusahaan-perusahaan yang sedang merumuskan kebijakan HAM atau sedang menghadapi persoalan HAM di internal mereka. Dalam situasi ini, peran advokat eksternal menjadi cukup krusial, apalagi jika ternyata kontribusi in house counsel dianggap belum cukup.

Selanjutnya, IBA Practical Guide merinci bidang-bidang pekerjaan spesifik dari profesi advokat yang dianggap relevan dengan penerapan UNGPs. Pertama, bidang tata kelola dan manajemen risiko perusahaan. Advokat yang mendalami bidang ini disarankan untuk mempelajari UNGPs secara seksama karena tata kelola perusahaan dan manajemen risiko juga mencakup aspek HAM.

Kedua, pelaporan dan transparansi. Bidang ini terutama berlaku untuk advokat yang menduduki in house councel sebuah perusahaan, dimana salah satu lingkup tugasnya adalah menyiapkan laporan pertanggungjawaban yang transparan. Saat ini, kalangan lembaga swadaya masyarakat cukup ‘vokal’ menyuarakan tuntutan agar perusahaan bersikap akuntabel dan transparan terkait aktivitas bisnisnya, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan HAM.

Ketiga, penyelesaian sengketa. Advokat, baik yang berposisi sebagai in house counsel maupun penasihat hukum eksternal perusahaan, harus selalu siap menghadapi segala potensi sengketa yang terkait dengan HAM. Sengketa ini bisa bermauara ke jalur pengadilan maupun non pengadilan.

UNGPs dan instrumen hukum internasional lainnya di bidang bisnis dan HAM telah mengeluarkan rekomendasi agar negara-negara di dunia mengembangkan mekanisme pemulihan yang efektif untuk kasus pelanggaran HAM di dunia bisnis. Mekanisme tersebut dapat dimulai dari internal perusahaan.

Organisation for Economic Co-operation and Development bahkan telah membentuk National Contact Points (NCPs) sebagai forum khusus untuk menangani pengaduan korban pelanggaran HAM di dunia bisnis. Pada praktiknya, keberadaan NCPs ternyata cukup populer.

Keempat, kontrak bisnis. IBA Practical Guide menekankan bahwa advokat harus memperhatikan aspek HAM dari setiap kontrak bisnis yang mereka susun. Advokat harus memiliki kejelian ketika menyusun kontrak bisnis agar semaksimal mungkin potensi pelanggaran HAM dapat dihindari.

Kelima, penyusunan standar HAM perusahaan. Advokat yang lingkup tugasnya menyusun standar HAM yang berlaku di perusahaan. Dalam rangka menyusun standar tersebut, advokat mutlak harus memiliki pemahaman yang baik atas UNGPs serta instrumen hukum internasional lainnya yang relevan.