Sejak dimulainya masa pandemi di Indonesia pada awal 2020, jumlah anak yang bekerja semakin meningkat. Data Sakernas Agustus 2020 menyebutkan jumlah anak yang bekerja di Indonesia sekitar 2,176,389 anak. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada Agustus 2019 yaitu anak bekerja sejumlah 1,633,020 anak. Salah satu penyebab atas peningkatan anak bekerja di masa pandemi adalah keluarga yang memanfaatkan anak untuk diperkerjakan agar menambah penghasilan keluarga.

Menilik data yang dirilis oleh UNICEF, setidaknya ada 5 juta anak di Indonesia baik sebagai tanggungan pekerja kelapa sawit atau sebagai pekerja di perkebunan kelapa sawit. Pekerja anak pada perkebunan kelapa sawit ini dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan kurangnya kesempatan dalam pendidikan yang akhirnya anak-anak dipaksa bekerja untuk membantu keluarga untuk mendapatkan penghasilan. Dalam laporannya, Koalisi Buruh Sawit menyatakan munculnya pekerja anak juga disebabkan oleh penetapan beban kerja yang tidak manusiawi, dimana anak-anak akan membantu orang tua agar mencapai target, mendapatkan premi, dan menghindari denda.

Adanya anak-anak yang bekerja di perkebunan kelapa sawit sebenarnya bertentangan dengan regulasi yang berlaku. Pasal 68 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah memberikan larangan tegas, “Pengusaha dilarang memperkerjakan anak, namun terdapat pengecualian pada Pasal 69 ayat (1) yaitu dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13-15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial”. Meskipun terdapat pengecualian, namun Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan juga harus memenuhi persyaratan yang ketat sesuai dengan Pasal 69 ayat (2).

Riset yang dilakukan oleh Amnesty International pada salah satu perusahaan sawit di Indonesia menemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan perusahaan perkebunan yang memperkerjakan anak-anak, yaitu:

  1. Pekerja anak bekerja tanpa alat keamanan, seperti sarung tangan.
  2. Pekerja anak bekerja dalam keadaan perkebunan yang tidak aman, yakni dapat terluka karena buah sawit yang berduri dan berulat.
  3. Pekerja anak terpapar oleh bahan kimia yang digunakan untuk pestisida dan pupuk di perkebunan kelapa sawit
  4. Pekerja anak membawa karung dengan berat beban yang mencapai 30 kg
  5. Pekerja anak berisiko cedera muskuloskeletal akibat dari membawa beban berat
  6. Pekerja anak tidak diberikan pelatihan dan perlindungan apabila terjadi cedera atau kecelakaan dalam bekerja

Temuan Amnesty Internasional tersebut dipertegas oleh laporan yang dirilis oleh Koalisi Buruh Sawit yang menyebutkan jika pelanggaran yang terjadi pada perkebunan kelapa sawit adalah dampak dari beban kerja yang terlampau tinggi dengan target yang tidak manusiawi, praktik upah murah, status hubungan kerja rentan (Prekarius), sistem pengawasan ketenagakerjaan yang tumpul, dan pemberangusan serikat buruh independen.

Situasi tersebut seharusnya tidak harus terjadi apabila semua pemangku kepentingan memperhatikan dan menjalankan mandat UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.  Pasal 52 ayat (1) menyatakan setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara dan pada ayat (2) dijelaskan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Untuk mengatasi tantangan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak, Indonesia termasuk sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Pasal 32 KHA menetapkan tiap anak berhak dilindungi dari kerja-kerja yang merugikan kesehatan atau pertumbuhan mereka. Anak yang bekerja berhak atas lingkungan yang aman dan upah yang adil. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 182 dalam UU RI No. 1 Tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Menurut Konvensi ini, salah satu bentuk terburuk kerja anak yaitu pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.

Pemerintah Indonesia juga menyatakan komitmennya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (RAN-PBPTA). RAN-PBPTA menjelaskan jika anak-anak yang bekerja di perkebunan termasuk ke dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan jika pemerintah telah melaksanakan RAN-PBPTA Tahap I dan Tahap II dan saat ini sedang melaksanakan RAN-PBPTA Tahap III. Buktinya sebanyak 143.456 pekerja anak telah berhasil ditarik dari tempat kerja ke shelter pendampingan dalam rangka memotivasi dan mempersiapkan anak kembali ke dunia pendidikan pada tahun 2008 – 2020.

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) telah menetapkan Principles & Criteria 2018, dimana dalam Criterion No 6.4 menyebutkan dalam produksi minyak kelapa sawit tidak ada pekerja anak yang dilibatkan. Ketentuan ini seharusnya ditaati oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia yang menjadi Anggota RSPO. Selain P & C 2018, RSPO mengeluarkan Guidance On Child Rights For Palm Oil Producers yang menjadi pedoman bagi hak-hak terhadap anak pada produsen kelapa sawit. Dikeluarkannya Pedoman ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran RSPO terkait merebaknya pandemi covid-19 yang berpotensi meningkatkan pelanggaran terhadap hak-hak anak.