Jambi merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang kaya dengan potensi sumber daya alam. Jambi memiliki potensi minyak dan gas bumi, mineral dan batu bara, kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan (Wantanas, 2019). Potensi sumber daya alam tersebut dilengkapi dengan adanya empat taman nasional yang unik, yaitu: 1) Taman Nasional Kerinci Seblat seluas 1.368.000 ha yang berada di wilayah pegunungan; 2) Taman Nasional Bukit Dua Belas seluas 60.500 ha yang memiliki kekhasan karena di dalamnya menghuni komunitas adat suku anak dalam (SAD), 3) Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dalam taman nasional ini juga banyak SAD berada di wilayah dataran rendah seluas 144.223 ha, dan 4) Taman Nasional Berbak berada di wilayah wetland (Kusniati, Retno, 2018).

Sumber daya alam yang dimiliki Jambi tersebut secara ekonomi dan ekologis dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di Propinsi Jambi. Namun, terjadinya praktik eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan dan sosial telah mengakibatkan dampak yang besar bagi masyarakat. Ancaman kebakaran hutan dan lahan, banjir dan konflik sumber daya alam merupakan salah satu bentuk dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak mengedepankan pendekatan sosial dan lingkungan yang berkelanjutan. Proses eksploitasi sumber daya alam yang tidak ”mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam praktik pembangunan wilayah” mengakibatkan berkurangnya potensi kesejahteraan yang seharusnya dinikmati masyarakat Jambi.

Catatan akhir tahun 2021 yang dikeluarkan oleh WALHI Jambi terkait pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) menemukan beberapa isu strategis dan permasalahan pembangunan di Propinsi Jambi sepanjang  2021. Isu ini merupakan permasalahan pembangunan yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya.  Permasalahan tersebut antara lain berkaitan dengan (rendahnya) kualitas lingkungan, permasalahan (penanganan) penambangan liar, dan pembangunan yang belum ramah lingkungan. Permasalahan ini terjadi sebagai akibat dari : Pertama, perluasan izin industri berbasis sumberdaya alam (sawit, HTI dan pertambangan) masih belum bisa menjadi penopang dari pengurangan kemiskinan, pengangguran dan menmbahnya kesejahteraan masyarakat Jambi dan juga menjadi pemicu konflik lahan SDA.

Kedua, penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup (yang) masih belum maksimal. Hal tersebut dibuktikan dengan masih banyaknya pihak perusahaan yang konsensinya terbakar dan melakukan pencemaran lingkungan yang  belum mendapat sanksi hukum.

Ketiga, belum adanya dukungan kuat oleh Pemerintah Propinsi Jambi terhadap praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang lebih adaptif dan aman dengan kondisi lingkungan hidup yang ada.

Minimnya tata kelola sumber daya alam tersebut berdampak pada peningkatan konflik lahan antara masyarakat dengan pihak perusahaan. Sampai dengan September 2021, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi mencatat setidaknya terjadi konflik di 29 (dua puluh sembilan) desa di Propinsi Jambi. Konflik lahan ini terjadi di Kabupaten Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (JPPN, 07 September 2021).

Sebagian besar konflik lahan di Jambi terjadi antara masyarakat dengan perusahaan sebagai pemegang izin hak guna usaha (HGU). Di antaranya dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perusahaan tambang.

Situasi yang terjadi di Jambi tersebut seolah mengingatkan pada situasi ketika sumber daya alam   menjadi  sumber    dari   segala konflik    yang    terjadi.  Sumber daya alam seolah menjadi sumber kutukan (natural resource curse). (Sholikin, A, 2020)

Sumber daya alam Jambi seharusnya dapat dikelola dengan menggunakan pendekatan pembangunan berkelanjutan wilayah yang menekankan pentingnya lingkungan dan sosial untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan wilayah. Konsep ini berlandaskan pada proses-proses “pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya di masa datang” (World Commission on Environment and Development/WCED, 1987). Sehingga, setiap proses pemanfaatan sumber daya alam harus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan sumber daya alam dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan (Rahma, H., Fauzi, A., Juanda, B., & Widjojanto, B, 2021).

Oleh karenanya, perencanaan pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam Jambi ke depan harus dapat mengadaptasi nilai-nilai dan prinsip pembangunan berkelanjutan yang lebih mengutamakan keselamatan rakyat. Hal ini dapat dilakukan dengan, salah satunya,  melakukan evaluasi perizinan industri ekstraktif yang diduga terlibat dalam perusakan lingkungan dan merugikan masyarakat, dan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam memromosikan  praktik-praktik produksi rakyat yang lebih aman bagi lingkungan hidup dan memiliki nilai ekonomi berkelanjutan. Proses ini harus dilakukan secara serius dan komprehensif, sehingga hasilnya akan dapat dinikmati masyarakat Jambi secara keseluruhan.