Hari Perempuan Internasional (International Womens Day) diperingati setiap tahun pada 8 Maret. Hari Perempuan Internasional pertama kali dirayakan warga Amerika Serikat pada 28 Februari 1909. Saat itu, Partai Sosialis Amerika mendeklarasikan Hari Perempuan Nasional pertama yang bertujuan untuk menghormati pemogokan pekerja garmen yang terjadi setahun sebelumnya, yakni 1908 ketika buruh perempuan memprotes kondisi kerja mereka. Sebanyak 15.000 perempuan berbaris melintasi New York dan menuntut jam kerja yang lebih pendek, gaji yang lebih baik, serta hak untuk memilih. Selanjutnya, Clara Zetkin, seorang aktivis dan advokat untuk hak-hak perempuan di Jerman, menyarankan pembentukan Hari Perempuan internasional. Dia menyarankan agar setiap negara merayakan Hari Perempuan Internasional setiap tahunnya sebagai upaya untuk menyuarakan tuntutan kolektif perempuan. Sebanyak 100 perempuan dari 17 negara menyetujui ide Clara Zetkin tersebut.

Pada International Womens Day 8 Maret 2022 kali ini mengusung tema #BreakTheBias. Tema ini dipilih untuk merayakan pencapaian perempuan di seluruh dunia di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Selama ini, perempuan dari berbagai latar sosial budayanya selalu memiliki bias, stereotip, dan diskriminasi. Bias tersebut bisa datang dari mana saja, mulai dari komunitas, tempat kerja, sekolah, perguruan tinggi, dan lingkungan di sekitar. Kampanye #BreakTheBias mengajak seluruh masyarakat di dunia untuk berupaya memiliki kesadaran terhadap bias yang selama ini menempel pada perempuan dan berupaya mematahkannya. Kampanye ini diharapkan dapat menjadi ajakan positif baik bagi laki-laki maupun perempuan agar mampu bersikap dengan adil dan menghargai setiap perbedaan yang ada sehingga tercipta dunia yang inklusif.

Tema #BreakTheBias tersebut relevan dengan situasi dan kondisi perempuan-perempuan Indonesia, khususnya pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit Indonesia merupakan komoditas unggulan yang menjadikan Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Perkebunan kelapa sawit Indonesia tersebar di 26 provinsi yang luasnya meningkat setiap tahunnya.

Mengacu pada data Kementerian Pertanian (Kementan), pada tahun 2021 luas perkebunan kelapa sawit mencapai seluas 15,08 juta hektare (ha). Luas ini mengalami kenaikan sebanyak 1,5% dibanding tahun sebelumnya yang seluas 14,03 juta ha. Dari perkebunan sawit seluas itu, mayoritas pemiliknya adalah Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu seluas 8,42 juta ha (55,8%). Diikuti oleh Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6,08 juta ha (40,34%), dan yang terakhir Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 ribu ha (3,84%). Kementan juga mencatat jumlah produksi kelapa sawit nasional sebesar 49,7 juta ton pada 2021. Angka tersebut naik 2,9% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 48,3 juta ton.

Besarnya potensi dan luasnya perkebunan kelapa sawit tersebut tentunya perlu ditunjang oleh pengelolaan dan  tenaga kerja yang memadai. Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2019, jumlah tenaga kerja sebanyak 4,42 juta pekerja. Jumlah tersebut terdiri atas 4,0 juta (90,68%) pekerja di perkebunan sawit besar swasta nasional, 321.000 (7,26%) pekerja perkebunan sawit besar negara, dan 91.000 (2,07%) pekerja perkebunan sawit besar swasta asing.

Dari sekian banyak pekerja yang mendukung perkebunan kelapa sawit tersebut, tidak semua pekerjanya mendapatkan kondisi kerja yang layak, terutama pekerja perempuan, yang hingga saat ini masih terus menjadi sorotan karena kondisi kerjanya yang tidak layak. Pekerja-pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit masih mengalami diskriminasi dalam hal upah, jaminan perlindungan sosial, kesehatan, dan keselamatan kerja.

Situasi yang dialami pekerja perempuan tersebut dikuatkan temuan KSBSI. Sulistri Ketua PLT Dewan Pengurus Pusat Federasi Serikat Buruh Kamiparho Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) membenarkan pekerja perempuan di sektor ini masih sengaja di marjinalkan. Dia menjelaskan, di industri kelapa sawit itu ada dua jenis pekerjaan dilakukan oleh perempuan. Bahkan ada pekerja perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Namun, situasi ini masih terhitung jarang diketahui oleh publik karena keberadaannya yang jauh dari kota.

“Pertama, bagian pengolahan kelapa sawit dan kedua di daerah perkebunannya dan sisanya bekerja bagian administrasi dan keuangan, pada umumnya status mereka bekerja di perkebunan adalah buruh lepas. Sehingga, upah dan kesejahteraan buruh perempuan di sektor kelapa sawit masih jauh dari harapan. Dan masih banyak belum dilibatkan menjadi peserta 5 program BPJS Ketenagakerjaan, terutama bagi buruh perempuan harian lepas”.

Terkait pelecehan seksual, KSBSI sering mendapat laporan dari pengurus cabangnya, bahwa buruh perempuan sering mendapat kekerasan seksual. Seperti di colek dan digoda yang terkesan tidak sopan. Temuan ini sejalan dengan hasil investigasi komprehensif yang dilakukan oleh Associated Press, yang berfokus pada perlakuan brutal terhadap perempuan dalam industri minyak sawit, termasuk pelecehan seksual, mulai dari pelecehan verbal hingga ancaman hingga pemerkosaan.

Permasalahan lain yang dihadapi pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit adalah maraknya status “ghost labour”. Istilah ini diberikan kepada istri-istri pekerja perkebunan kelapa sawit yang terpaksa membantu suaminya bekerja memenuhi target dari perusahaan, tentu mereka tidak dapat upah atas pekerjaan yang penuh risiko di perkebunan kelapa sawit.

Bertepatan dengan peringatan International Womens Day yang mengusung tema #BreakTheBias, Business and Human Rights Institute (BHRI) mendorong :

  1. Pemerintah Indonesia, khususnya Kementrian Pertanian selaku institusi yang menangani sektor perkebunan kelapa sawit, dan Kementrian Ketenagakerjaan secara bersama-sama melakukan langkah-langkah yang tepat untuk meningkatkan monitoring dan fungsi kontrol terhadap Perkebunan-perkebunan Besar Swasta (PBS) agar menerapkan standar kerja yang layak dan memenuhi hak-hak normatif para pekerjanya;
  2. Perkebunan-perkebunan Besar Swasta (PBS) mematuhi dan tunduk pada aturan ketenagakerjaan serta menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dengan memberikan kebebasan kepada para pekerja dalam menyampaikan pendapat dan menuntut hak-haknya;
  3. Perkebunan-perkebunan Besar Swasta (PBS) memberikan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya terhadap pekerja yang terdampak bahan kimia berbahaya.
  4. Perkebunan-perkebunan Besar Swasta (PBS) memberikan upah/gaji sesuai pekerjaan yang dikerjakan tanpa adanya pemangkasan /pengurangan upah kepada pekerja perempuan yang telah bekerja sesuai aturan ketenagakerjaan tanpa adanya diskriminasi upah;
  5. Round Table for Sustainable Palm Oil (RSPO) mengawasi dan memastikan Perkebunan-perkebunan Besar Swasta (PBS) yang menjadi anggota RSPO untuk mentaati dan mematuhi prinsip dan kriteria RSPO secara transparan dan akuntabel. Sehingga, hak-hak buruh tetap dipenuhi dan terlindungi.