Pemerintah Indonesia menyatakan komitmennya untuk melindungi Awal Kapal Perikanan Indonesia (AKPI). Hal ini diungkapkan Sekjen Kemnaker, Anwar Sanusi, yang menyebut bahwa Indonesia akan meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) 188 tentang Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan (Work in Fishing Convention).

Ratifikasi terhadap Konvensi ILO 188 dilatarbelakangi oleh maraknya laporan yang mengungkapkan perlakuan dan kondisi kerja yang buruk yang dialami para awal kapan Indonesia. Laporan dan pemberitaan berbagai media menyebutkan berbagai pelanggaran dan kekerasan yang diami para awal kapal Indonesia yang bekerja di perusahaan penangkapan ikan. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerima 338 aduan terkait praktik perbudakan modern di laut dari September 2014 – 2020. Dengan menggunakan data SBMI, Greenpeace Asia Tenggara mengidentifikasi praktik kerja paksa terhadap ABK dengan menggunakan 11 indikator kerja paksa ILO, meliputi penahanan upah, kondisi kerja dan hidup yang kejam, dan penyalahgunaan kerentanan, penipuan, pembatasan gerak, pengisolasian, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan ancaman, penyimpanan dokumen identitas, jeratan hutang, dan jam kerja yang berlebihan merupakan hal yang biasa dialami para pekerja kapal penangkapan ikan.

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) juga memaparkan dalam laporannya bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dan eksploitasi misalnya seperti perjanjian kerja laut yang dipaksakan kepada ABK, biaya administrasi yang memotong gaji, pemalsuan dokumen kerja, penahanan dokumen pribadi oleh agen penempatan.

Selain itu, terkait dengan eksploitasi dan pelanggaran HAM juga didukung oleh hasil investigasi dari Mongabay bersama Tansa dan Environmental Reporting Collective yang menemukan bahwa telah terjadi siksaan dan kematian pada ABK Indonesia di banyak kapal yang dimiliki dan dioperasikan oleh perusahaan Tiongkok yaitu Dalian Ocean Fishing (DOF). Adapun kondisi yang dialami oleh pekerja di kapal milik DOF mencakup makanan di bawah standar, air minum yang mungkin berbahaya karena air minumnya hasil dari air laut yang disuling, akibat dari air minum dan/atau makanan yang tidak baik maka banyak dari awak kapal ikan mengalami malnutrisi, gangguan ginjal yang berasal dari kelebihan garam akibat konsumsi air laut, edema atau pembengkakan, badan terasa lemah, nyeri pada kaki, kesulitan berdiri atau berjalan, serta pusing dan sesak di dada. Selain itu para ABK memiliki jam kerja yang berlebihan yaitu 18 hingga 20 jam per hari dalam tujuh hari seminggu.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Basilio Dias Araujo mengatakan saat ini terdapat kekosongan hukum tentang perlindungan pelaut atau ABK. UU Ketenagakerjaan tidak mengatur tentang pelaut, sedangkan ketentuan dalam UU Pekerja Migran Indonesia yang mengatur mengenai awak kapal atau pelaut perikanan tidak sesuai dengan konvensi pokok ILO. Oleh karena itu saat ini, Pemerintah tengah menyusun draf kerangka acuan dan mendukung harmonisasi regulasi dan implementasi hukum yang mengatur tentang pelindungan pekerja di sektor perikanan di Indonesia atau anak buah kapal. Selain itu, Kemenko Kemaritiman dan Investasi saat ini tengah melakukan studi analisis bersama kementerian dan lembaga (K/L) terkait di Indonesia. Dengan fokus melakukan perbandingan 2019-2021 tentang peraturan perundang-undangan Indonesia dan Konvensi ILO No.188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (ILO C-188).

BHR Institute berpendapat, diratifikasinya Konvensi ILO 188 akan memberikan peluang yang besar bagi Awak Kapal Perikanan Indonesia untuk menikmati hak-haknya sebagai pekerja. Konvensi ILO 188 juga akan memberikan tanggung jawab bagi pemilik dan perusahaan perikanan  untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk di dalamnya mengembangkan kebijakan hak asasi manusia dan melakukan uji tuntas hak asasi manusia seperti yang dimandatkan dalam Prinsip-prinsip PBB Mengenai Bisnis dan Hak Asasi Manusia.